Rahasia Barang China Lebih Murah, Ternyata Karena Ini
Wahana Berita – Rahasia barang impor China cenderung murah akhirnya terungkap. Pasalnya, barang-barang asal China ini diduga menjadi penyebab runtuhnya industri tekstil dan produksi tekstil (TPT) di Indonesia. Terlebih perusahaan yang berorientasi pada pasar domestik.
Barang impor asal China juga terkenal murah. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Rustadi menyebut murahnya barang China membuat industri TPT lebih tertekan dibandingkan industri sepatu (alas kaki). Apalagi, industri TPT nasional banyak didominasi perusahaan dengan modal terbatas.
Ia mengatakan, pihaknya sudah menyerukan agar impor ilegal diberantas. Perjanjian perdagangan dan sejenisnya, kata dia, membuat kegiatan impor semakin bebas. Hal ini yang menjadi penyebab produsen dalam negeri mati.
Rustadi memberikan contoh kain katun impor China. Menurutnya, kain katun dari China dibanderol hanya Rp15 ribu per meter. Jika diproduksi dalam negeri harganya menjadi Rp30 ribu per meter. Ia pun mengaku tidak mengerti bagaimana cara China menghitung biaya tersebut. Kendati murah, ia mengakui kualitas barang China masih mumpuni.
Kondisi ini, lanjut Rustadi, membuat pabrik kain yang memasok ke perajin batik di Pekalongan, menjadi importir kain dari China. Sementara perajin batik, menyadari bahwa kain dari China menjadi hukum pasar, murah, dan bagus. Ia menegaskan bahwa hal tersebut merupakan momok yang sulit dihindari.
Rahasia Barang China Lebih Murah
Usut punya usut, Rustadi akhirnya menemukan sejumlah faktor yang membuat barang China bisa diproduksi lebih murah. Menurutnya, biaya di China lebih efisien tak hanya dari segi upah. Pelayan, insentif, harga energi, hingga infrastruktur dan perizinan lebih efisien.
Ia melanjutkan, upah pekerja pabrik di Indonesia sering dinilai salah kaprah. Upah minimum kerap dianggap sebagai upah maksimum. Bagi perusahaan, yang terpenting adalah mereka sudah mengikuti aturan. Sehingga, upah pekerja yang baru masuk dan yang sudah bekerja puluhan tahun sama.
Rustadi menduga hal ini berpengaruh pada produktivitas kerja meski tidak bisa dijadikan korelasi. Namun, ia tidak bisa memungkiri produktivitas kerja di China sangat tinggi. Ia mencontohkan sebuah pabrik sepatu. Pekerja di China dapat mengerjakan 1,5 atau dua. Tapi dalam waktu yang sama pekerja Indonesia hanya 1. Padahal upah pekerja China tidak berubah meskipun sudah mengerjakan lebih dari 1.
Dia juga menyinggung soal attitude pekerja antara dalam negeri dan China. Pekerja lokal sempat memprotes perusahaan karena memberi upah pekerja China lebih tinggi. Namun, memang faktanya pekerja China mampu mengerjakan lebih banyak pekerjaan.
Maka dari itu, Rustadi berharap pemerintah mengevaluasi kebijakan-kebijakan terkait upah minimum. Tak hanya itu, pemerintah juga memacu peningkatan kualitas pekerja Indonesia melalui vokasi.
Sumber: CNBC Indonesia