Nikel: Potensi Besar dan Kontroversi dalam Transisi Energi ke Kendaraan Listrik
Wahana Berita – Transisi energi menjadi isu yang semakin penting dan mendapat perhatian dari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini. Salah satu strategi utama dalam transisi energi ini adalah pengembangan kendaraan listrik. Pemerintah telah memberikan berbagai keringanan pajak untuk mempercepat pertumbuhan industri kendaraan listrik serta ekspansi pasar.
Selain alasan biaya bahan bakar fosil yang tinggi dan memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemerintah juga ingin beralih ke kendaraan listrik untuk alasan keberlanjutan lingkungan. Kendaraan listrik memiliki keunggulan karena tidak menghasilkan emisi gas buang dan membantu mengurangi polusi udara.
Salah satu komponen utama dalam kendaraan listrik adalah baterai sebagai penyimpan energi listrik. Nikel memainkan peran penting dalam pembuatan baterai tersebut sebagai bahan baku utama.
Nikel digabungkan dengan kobalt dan mangan untuk membuat baterai lithium-ion, yang merupakan jenis baterai yang paling umum digunakan dalam motor dan mobil listrik. Selain tahan terhadap karat, komposisi ini juga memiliki kepadatan energi yang tinggi dan harga yang lebih terjangkau dibandingkan dengan bahan baku lainnya.
Penggunaan nikel sebagai bahan baku baterai bukanlah hal baru. Baterai yang mengandung nikel telah digunakan dalam ponsel, kamera digital, laptop, dan perangkat elektronik lainnya. Dengan kemajuan teknologi baterai, permintaan akan nikel meningkat untuk memenuhi kebutuhan baterai kendaraan berbasis listrik.
Penggunaan nikel diperkirakan akan meningkat secara signifikan seiring dengan pertumbuhan kendaraan listrik di berbagai negara. Meskipun pangsa pasar kendaraan listrik saat ini masih kecil, tren kendaraan listrik diprediksi akan tumbuh dengan pesat di masa depan.
Indonesia, sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia, beruntung memiliki kekayaan alam ini. Menurut Booklet Nikel 2020 yang diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), cadangan bijih nikel di Indonesia mencapai 4,5 miliar ton.
Selain itu, diperkirakan terdapat sumber daya nikel yang jauh lebih besar, mencapai 11,7 miliar ton. Sebagian besar sumber daya nikel tersebut tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
Mengenali potensi pasar kendaraan listrik di masa depan, Presiden Jokowi telah melarang ekspor bijih nikel melalui program hilirisasi. Sejak Januari 2020, ekspor bijih nikel resmi dilarang.
Pemerintah ingin komoditas mineral dan tambang di Indonesia memiliki nilai tambah, bukan hanya diekspor dalam bentuk mentah. Larangan ini diharapkan akan diperluas ke komoditas tambang lainnya di masa depan.
Kekayaan nikel di Indonesia menarik banyak investor untuk menambang dan membangun pabrik pemurnian (smelter). Investor asing, terutama dari China, berbondong-bondong membangun smelter di wilayah timur Indonesia, yang merupakan surganya produksi nikel.
Pemerintah mencatat bahwa sejak larangan ekspor tersebut diberlakukan pada tahun 2020, realisasi investasi dalam sektor industri logam dasar meningkat. Pada tahun 2019, investasi dalam industri ini hanya mencapai Rp61,6 triliun. Setelah pemerintah mendorong hilirisasi, investasi meningkat menjadi Rp171,2 triliun pada tahun 2022.
Namun, kebijakan hilirisasi ini juga menimbulkan berbagai kontroversi, baik dari Uni Eropa maupun Dana Moneter Internasional (IMF). Uni Eropa mengajukan gugatan terhadap Indonesia ke World Trade Organization (WTO). WTO kemudian memutuskan bahwa Indonesia kalah dalam gugatan tersebut.
Di sisi lain, IMF merekomendasikan agar Indonesia mengkaji kembali larangan ekspor nikel dan komoditas lainnya.
Dalam penggunaannya saat ini, lebih dari dua pertiga nikel digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan baja tahan karat atau stainless steel. Kandungan nikel dalam stainless steel mencapai 75 persen. Stainless steel yang terbuat dari nikel juga mudah dibentuk dan memiliki berbagai aplikasi yang luas.
Sumber : cnnindonesia.com